Cerpen Tema Hiburan dan Seni

 
Benih Kesabaran
(karya : Ilma & Salis)


Tlaakkkk…. Gumpalan kertas melabuh tepat di kepalaku. “auuuww… siapa sih ini, jail banget deh” teriakku. Aku menoleh ke belakang. Terlihat Ameltertawa kecil sambil memandangku sinis.
“Ada apa sih, Mel ?”tanyaku.
“Entar, waktu istirahat aku certain sesuatu yang bakal bikin kamu menjerit histeris.” Jawab Amel.
“Apaan sih ? Jadi penasaran”
“Udah.. Tunggu aja entar.”
Celotehan Amelmembuat pikiranku melayang. Sehingga aku tak menyimak pelajaran Fisika yang diajarkan Pak  Margono yang terkenal killer dan kejam itu.
*****
Teet …. Teett… teetttt.
Bunyi bel tanda istirahat sekolahku berbunyi. Amellangsung saja menyeretku keluar kelas. Aku mengikuti langkahnya yang cepat itu dengan tertatih-tatih. (lagu sakitnya tuh di sini terdengar kersa dari speaker sekolah)
“Aduh.. mel, pelan – pelan napa sih ?” Berontakku.
“Kamu diem aja dulu, nggak usah protes !” Jawab Ameldengan melotot ke arahku.
Ternyata Amel mengajakku ke tempat majalah dinding di sudut sekolah kami. Kemudian ia menunjuk salah satu poster yang tertempel rapi di sana. Ku cermati sungguh – sungguh poster itu.
“Kompetisi Tari Indonesia ke-6 ? maksudmu apa ?” Tanyaku pada Ameldengan wajah serius.
“Kamu nggak ingin kita ikut kompetisi ini? Nanti kita ajak Rachma sekalian.Gimana?”
“Emang kompetisi ini bagusnya apa?”
“Ya elah ki, masa kamu nggak tahu sih. Ini itu ajang tari paling bergengsi di Indonesia tahu!”
“Ooh.. gitu, kalau gitu oke deh kita ikut ajang itu.”
“Yeeeeee….akhirnya.” jerit Amel sorak-sorai   
“Pulang sekolah nanti kita kasih tau Rahma sama mikirin bagaimana selanjutnya.”
“Oke beres Mel.” Jawabku.
*****
Jam 2 tepat bel pulang berdering nyaring memekakkan telinga. Berhamburlah murid-murid dari segala penjuru kelas. Aku dan Amel menunggu Rahma di depan kelasnya, karena memang aku dan Rahma berbeda kelas. Aku dan Amel kelas XII-A2 dan Rahma kelas XII-A3.
Beberapa menit kemudian, Rahma muncul dengan menenteng tasnya yang kelihatan super berat.
“Hai, Rahma !” SaPaku pada Rahma.
“Eh.. iya Ki, ada apa, tumben kamu ke kelasku sama Ameljuga ? Kangen ya ? ” Jawab Rahma sambil mengernyitkan dahi.
“Ge – eR banget kamu. Langsung aja ya aku cerita. Di mading sekolah ada poster  tentang lomba tari se – Indonesia. Gimana kalo kita join lomba, seperti biasa kita selalu ikut lomba-lomba tari lainnya kan ? dan lomba ini tuh se-Indonesia tau, ajang yang paling bergengsi yang belum kita ikuti.” Jelas Kiki.
“Emmmm... gimana ya, aku sih setuju-setuju aja yang penting sama kalian, tapi kita kasih tau berita ini ke Pak Maja dulu.” Jawab Rahma.
Kami bertiga langsung menuju sanggar tari tempat kami berlatih.
*****
Di sanggar tari sudah ada Pak Maja yang selalu stand by di sana setiap waktu. Kami langsung menghampiri beliau yang sedang duduk di teras sanggar.
“Assalamu’alaikum Pak Maja” sapa kami bertiga hampir serentak.
“Wa’alaikumsalam, tumben kok kalian kesini masih Pakek seragam sekolah, memangnya ada apa ?” jawab Pak Maja.
“Gini Pak, kedatangan kami kesini mau ngasih tau BaPak kalau kami mau ikut lomba tari se-Indonesia. Menurut Bapak bagaimana ?” tanya Amel.
“Ooohhh.. jadi begitu. Sebenarnya Bapak ingin menawari kalian buat ikut itu, tapi ternyata kalian sudah tau. Rencananya kalian ingin saya kirim ke Surabaya untuk berlatih tari di sana, karena di sana Bapak sudah menyuruh seseorang untuk melatih kalian tari Remo. Bagaimana kalian setuju tidak ?” tanya Pak Maja.
“Setuju” jawab kami serempak.
“Tapi bagaimana dengan sekolah kami Pak, kami tidak dapat meninggalkan sekolah kami untuk pergi ke Surabaya lagipula itu kan jauh.” Tambah Rahma
“Kalian tidak usah khawatir. Lomba ini kan masih lama sekitar 2 bulan lagi, sedangkan akhir bulan ini kalian sudah libur semester. Jadi, kalain ke Surabaya waktu liburan.” Jawab Pak Maja menyakinkan kami.
“Benar juga ya Pak.” Sahut Rahma.
“Untuk keberangkatan kalian ke Surabaya, sudah Bapak atur dan Bapak tanggung biayanya. Jadi kalian tinggal berangkat saja. Tapi maaf Bapak tidak bisa mendampingi kalian, karena Bapak harus mengurus sanggar ini.” Jelas Pak Maja.
“Terima kasih banya Pak Maja, kami tidak apa-apa berangkat sendiri. Kami kan sudah besar kelas 12 SMA lagi.” Sahut Amel.
*****
Tanggal 29 Juni 2013 aku, Amel, dan Rahma sampai di Surabaya dengan selamat sentausa setelah melakukan perjalanan menaiki kereta selama 2 jam lamanya. Di stasiun kereta kami dijemput oleh seorang wanita tinggi, berkulit putih, dan kelihatnnya sangat baik. Wanita itu adalah seseorang yang diceritakan oleh Pak Maja sebelum kami berangkat. Kami langsung saja menghampiri wanita tersebut setengah lari.
“Bu Lia ?” tanyaku dengan penasaran.
“Iya benar saya Bu Lia yang disuruh Pak Maja untuk menjemput kalian bertiga. Kamu pasti kiki kan ?” tanya Bu Lia.
“Kok Ibu tau sih, padahal kan belum kenalan.” Jawabku
“Itu kalung kamu tulisannya KIKI.” Jawab Bu Lia.
“Ooo..iya.. Ibu bisa saja.” Jawabku sedikit malu.
“Perkenalkan saya Amel Bu.” Sahut Amel dengan antusias.
“Kalau saya Rahma.” Tambah Rahma.
“Saya Luchiatul Amaliayah Zakiyah, yang akan melatih kalian bertiga tari remo di sini.” Jelas Bu Lia kepada kami.
“Kapan kita akan latihan bu, aku sudah tidak sabar lagi.” Sahut Amel.
“Besok saja Amel. Sekarang kalian harus istirahat dulu, kalian bisa tinggal di ruangan sebelah sanggar ibu. Ruangan itu sudah ibu siapkan untuk kalian istirahat selama di Surabaya. Sekarang kita langsung menuju kesana.”  Jelas Bu Lia sambil mengajak kami menuju mobil yang sudah menunggu kami di depan stasiun.
*****
Keesokan harinya kami memulai perjuangan latihan menuju kemenangan. Tak kusangka wajahnya yang lembut sangat serius ketika melatih kami. Kami dididik secara tegas dan disiplin. Pagi, siang, sore  kami terus digembleng  dengan intensif.
Kami tidak memperdulikan rasa lelah yang terus menggelayuti kami. Biarpun panas, hujan dan ibarat badai sekalipun kami terjang. Bu Lia juga dengan sabar melatih kami. Seringkali kami malas – malasan tetapi Bu Lia selalu berhasil menyulut kembali semangat kami yang hampir padam.
Tak terasa sudah seminggu di sanggar tari ini. Namun, sayangnya rasa jenuh mulai menghampiri kami. Latihan yang keras membuat kami bosan. Hingga pada suatu malam di ruangan kami.
“Kamu tahu nggak aku tu dah capek dengan semua ini !” Bentak Amel padaku.
“Iya aku tahu Mel, aku tu juga capek. Tapi kita harus tetap semangat. Ini baru awal perjuangan kita untuk meraih kemenangan mel. Sadari itu ! ” Jelasku pada Amel.
“ Kamu tu nggak ngerti. Menurutku tari Remo in tarian yang kuno, nggak modis dan banyak aturan yang mengikat. Nggak cocok denganku yang menyukai  kebebasan dan penuh fantasi ini. Awalnya aku semangat tapi lambat laun aku ternyata nggak cocok banget dengan tarian ini. Ini terlalu mengekangku.”  Jelas Amel panjang lebar.
Penjelasan Amel ini sontak membuat aku dan Rahma terkejut. Tak kusangka Amelyang kukira semangat – semangat saja ternyata memendam rasa muak yang amat sangat.
“ Udahlah mel, kita jalani saja. Itung – itung buat pengalaman kita. Kita udah jauh – jauh datang dari Malang ke sini. Apa itu nggak sia – sia kalau kamu berhenti di tengah jalan ? “ Ungkap Rahma mencoba untuk menasehati Amel.
“ Kalian nggak bakal ngerti perasaanku. Aku sudah lelah. Aku nggak yakin dengan semua ini. Menurutku tari Remo nggak bakal buat kita jadi juara. Aku ingin lepas dari semua ini. Aku ingin pulang saja. Terserah kalian mau ikut atau tidak denganku.” Ungkap Amel.
Kemudian Amel membanting pintu dan meninggalkanku dan Rahma yang masih kaget dengan penjelasan Amel.
“ Mel, tunggu kamu mau ke mana ? Kita belum selesai ngomong.” Teriakku pada Amel.
“ Udahlah Ki, biarin Amel sendiri dulu. Mungkin dia masih butuh waktu untuk berpikir.” Jelas Rahma padaku.
“ Tapi Ma... “ Jawabku.
“ Udahlah biarin aja dulu.” Potong Rahma yang memang lebih bisa bersikap dewasa diantara kami bertiga.
*****
Keesokan paginya aku mendapati barang-barang Amel sudah raib dari tempatnya. Tak ada satupun yang tersisa. Aku mencoba menghubunginya lewat telepon, namun hasinya nihil. Nomornya sama sekali tidak bisa dihubungi. Aku bingung sebenarnya ke mana perginya Amel. Dia juga tidak memberitahu aku dan Rahma sebelumnya. Ketika Rahma akan menuju pintu ruangan kami, ternyata ada sepucuk surat tergantung digagang pintu. Surat tersebut dari Amel yang berisi bahwa Dia kembali ke Malang. Kami benar-benar kaget bukan kepalang. Amel tega meninggalkan kami disini hanya berdua saja, padahal kita selalu bertiga entah apa dan bagaimana alasannya. Aku dan Rahma mencoba tegar dan berpikir bagaimana langkah selanjutnya. Aku teringat akan Bu Lia, aku harus memberitahu beliau tentang masalah ini. Semoga Beliau mempunyai solusi yang bagus. Aku dan Rahma bergegas menemui Bu Lia.
Ternyata Bu Lia sudah tahu perihal kepulangan Amel. Amelmenemui Bu Lia dan berpamitan. Bu Lia membesarkan hati kami supaya tetap maju meskipun tanpa Amel. Solusi Bu Lia kami tetap berlatih untuk lomba minggu depan, apapun hasilnya kami harus buktikan kepada Amelkalau kita mampu tetap bertahan. Kami esok hari harus berlatih lagi, waktu sudah semakin dekat. Kejadian ini harus menjadi tolak ukur bagi aku dan Rahma.
Hari demi hari aku dan Rahma tetap intensif untuk berlatih tari. Kini bu lia semakin menggembleng kami. Jadwal latihan pun semakin padat. Biasanya setiap pertemuan hanya satu setengah jam, sekarang menjadi dua jam pertemuan. Aku dan Rahma sangat yakin dengan kemenangan kami nantinya. Ini berkat bu lia juga yang selalu memberikan motivasi-motivasi.
*****
Empat hari sebelum lomba digelar. Aku  mendapat kabar dari Pak Maja, bahwa  di Malang Amel membentuk grup tari baru dengan teman-temannya. Grup tari tersebut mengusung tema modern dengan gerakan-gerakan tari yang lincah dan atraktif bak penari luar negeri. Dia juga mendaftar ajang lomba yang aku ikuti bersama Rahma. Aku benar-benar  terkejut, ternyata ini yang dinginkan Amel. Aku hanya menghela napas panjang dan menggelengkan kepala. Aku tidak bisa memberitahu kabar ini kepada Rahma, karena aku takut penyakit rahma akan kambuh. Benar saja karena rahma jika mendapat berita buruk yang mengagetkan dia akan lemas dan pingsan. Aku tak mau itu terjadi sehingga aku hanya diam menyimpan berita buruk ini.
*****
Hari yang kami tunggu-tunggu datang. Nomor lima belas adalah nomor urut aku dan Rahma tampil di panggung. Di barisan peserta aku melihat Amel dan grup barunya. Aku takut Rahma akan tahu hal ini. Kemudian aku mengajak Rahma untuk menjauh dari keramaian dengan alasan supaya kami tidak grogi dan menjadi minder dengan penampilan peserta lain.
Riuh rentak penonton mulai bergemuruh. Satu persatu peserta menampilkan bakat mereka. Hingga pada saat Amel dan grupnya tampil dengan nomor urut 5 sorak sorai penonton semakin menjadi – jadi. Suasana ini membuat Rahma penasaran dan dia langsung menuju dekat panggung. Aku mencoba untuk meraih tangannnya. Tapi aku tak bisa untuk mencegahnya.
Rahma terbelalak melihat penampilan Amel. Dia terkejut bukan kepalang. Amel yang dianggapnya setia pada kami ternyata berbalik arah menusuk kami berdua.
Bruk....
Tubuh Rahma terhempas ke tanah. Aku sudah menyangka ini akan terjadi.
” Rahma bangun, bangun, bangun Rahma ! “ Ucapku sambil mencoba menyadarkannya. Aku guncang – guncangkan tubuh Rahma. Tetap saja ia tidak sadarkan diri.
Aku memanggil Bu Lia. Aku dan Bu Lia sepakat untuk membawanya ke posko kesehatan yang disediakan oleh panitia.
“ Bu Lia, gimana ini bu ? Kondisinya tidak mungkin untuk bisa tampil. Apalagi sekarang sudah nomor urut  11. Sebentar lagi kami akan tampil Bu ? “ Tanyaku kepadaku Bu Lia dengan terisak – isak.
“ Begini saja. Kamu maju tampil sendiri tak apa, kan ? Saya mengerti bakat kamu. Saya yakin kamu pasti bisa Ki ? “
“ Tapi Bu ? Saya tidak yakin saya bisa tanpa Rahma.” Jawabku ragu.
“ Saya yakin kamu pasti bisa Ki,bakatmu diatas rata – rata anak seusiamu. Percayalah pada Ibu. Biarlah Rahma di sini. Ibu akan menjaganya.”
“ Kalau itu memang yang terbaik akan saya coba lakukan.”
*****
            Aku mantapkan langkah kakiku menuju ke panggung. Kepercayaan yang ku dapat dari Bu Lia semakin membuatku teguh dan tak gentar menghadapi apa yang ku alami saat ini.
“ Sekarang kita sambut penampilan dari grup Cakra Muda Malang dengan tarian Tari Remo.”  Terdengar suara MC menyebut nama grupku.
            Aku melangkah naik ke panggung. Aku jalani seperti latihan – latihan sebelumnya. Tak ku sangak di tengah tarianku aku mendengar langkah kaki naik ke panggung. Aku menoleh. Betapa terkejutnya aku melihat Rahma sudah mengambil ancang- ancang untuk menari bersamaku.
“ Rahma, kenapa kamu disini ? Sebaiknya kamu kembali istirahat.” Tanyaku pada Rahma dengan heran di sela – sela tarian kami.
“ Aku nggak apa – apa kok Ki. Sekarang ayo kita lanjutkan pertarungan kita.” Jawab Rahma menyakinkanku.
Gerakan demi gerakan kami berhasil lalui dengan baik. Pada saat turun dari panggung aku melihat wajat Rahma pucat pasi. Aku segera membawanya ke posko kesehatan kembali.
*****
Saat yang mendebarkan tiba. Ya.. waktunya pegumuman juara. Jantungku berdebar tak karuan. Aku dan Rahma berpegangan erat di posko kesehatan.
Alhamdulillah ternyata nomor kami disebut sebagai juara pertama. Syukur yang amat sangat kami panjatkan. Perjuangan kami ternyata membuahkan hasil yang gemilang. Kesabaran kami sudah terbayar lunas. Aku dan Rahma berpelukan penuh haru bercampur bahagia. Begitu juga dengan Bu Lia. Terlihat wajahnya memancarkan rona kebahagiaan.
Di tengah suasana haru kami, kulihat Amel melangkah mendekati kami.
“Maafkan aku teman-teman apa yang aku perbuatan memang salah, aku tidak mendengar apa nasihat kalian. Aku sadar aku harus berusaha apapun yng terjadi. Seharusnya aku tetap bersama kalian. Sekali lagi maafkan aku.” Amel menangis tersedu-sedu.
“Memang penyesalan selalu dibelakang bukan didepan. Aku tau kamu sebenarnya tidak bermaksud seperti ini. Apapun yang terjadi kamu tetap temanku seperti dulu. Semoga kejadian ini bisa merubah sikapmu lebih dewasa. Aku sudah memaafkanmu dari dulu Mel... ” ujarku lembut kepada Amel.
“Aku juga memaafkanmu mel...” sahut Rahma.
Aku, Rahma dan Amel saling berpelukan. Kami mengambil hikmah terhadap apa yang telah terjadi.
*****
“Hayo.... nglamun terus ki.” Sentak Rahma dan Amel mengagetkan lamunanku.
Aku langsung tersentak dan bangkit dari tempat dudukku. Kemudian kami langsung berangkat bersama menuju pagelaran budaya dari Indonesia di Balai Kota.

0 komentar:

Posting Komentar