Bagi penikmat kuliner Indonesia pastilah tidak
asing lagi dengan si hijau kecil nikmat yaitu petai (pete). Petai biasa
disajikan didalam campuran sambal goreng, sayur lodeh atau hanya digoreng mupun
dimakan mentah sebagai lalapan. Namun, kenikmatan petai tidak sebanding dengan
bau yang dihasilkan saat setelah memakan si hijau itu. Bau yang dihasilkan
sangat menyengat sehingga banyak masyarakat yang enggan mengonsumsi petai.
Jangan khawatir readers mulai sekarang jangan takut
makan petai krena baunya. Saya punya cara jitu menghilangkan bau petai.
Setelah readers memakan gudapan yang mengandung
petai. pertam yang harus disiapkan adalah bubuk kopi hitam murni. setelah itu
ambil sesendok bubuk kopi dan makan (emut)
bubuk kopi tersebut.
Kalau anda tidak kuat dengan
pahitnya kopi bisa saja dicampur dengan gula, tapi sedikit saja ya agar tidak
menghilangkan kandungan penetral kopi.
Model batik modern yang kini banyak populer di pasaran adalah batik
rangrang. Motif ini biasanya berupa motif abstrak yang memiliki warna warna
cerah. Batik ini merupakan batik khas indonesia yang memiliki multi
warna. Batik ini bisa di menjadi rok, kemeja, bahkan blouse atau blezer. Padu padan yang utama dari
batik prinsipnya adalah kenakan batik dengan bawahan atau atasan yang polos dan
memiliki warna senada. Bagi yang berhijab, untuk padu padan dengan mengenakan
batik, sebaiknya menggunakan hijab yang polos. Jika mengenakan hijab motif
dengan batik yang sudah banyak motif atau corak akan membuat terlihat penuh.
Tips padu padan model batik modern lainnya adalah dengan menambahkan
aksesoris pemanis batik. Selain itu perhatikan pula moment saat mengenakan
batik. Jika untuk acara formal sebaiknya jangan terlalu banyak mengenakan
aksesoris. Jika menghadiri pesta, pilihlah motif batik yang terkesan elegan
ataupun mewah. Padukan dengan aksesoris yang berpendar seperti kalung atau
gelang bangle yang besar.
Di ambil dari http://www.infofashionterbaru.com/padu-padan-mengenakan-model-batik-modern.html
Benih Kesabaran
(karya : Ilma & Salis)
Tlaakkkk….
Gumpalan kertas melabuh tepat di kepalaku. “auuuww… siapa sih ini, jail banget
deh” teriakku. Aku menoleh ke belakang. Terlihat Ameltertawa kecil sambil
memandangku sinis.
“Ada apa sih, Mel
?”tanyaku.
“Entar, waktu
istirahat aku certain sesuatu yang bakal bikin kamu menjerit histeris.” Jawab Amel.
“Apaan sih ?
Jadi penasaran”
“Udah.. Tunggu
aja entar.”
Celotehan
Amelmembuat pikiranku melayang. Sehingga aku tak menyimak pelajaran Fisika yang
diajarkan Pak Margono yang terkenal
killer dan kejam itu.
*****
Teet …. Teett…
teetttt.
Bunyi
bel tanda istirahat sekolahku berbunyi. Amellangsung saja menyeretku keluar
kelas. Aku mengikuti langkahnya yang cepat itu dengan tertatih-tatih. (lagu
sakitnya tuh di sini terdengar kersa dari speaker sekolah)
“Aduh.. mel,
pelan – pelan napa sih ?” Berontakku.
“Kamu diem aja
dulu, nggak usah protes !” Jawab Ameldengan melotot ke arahku.
Ternyata
Amel mengajakku
ke tempat majalah dinding di sudut sekolah kami. Kemudian ia menunjuk salah
satu poster yang tertempel rapi di sana. Ku cermati sungguh – sungguh poster
itu.
“Kompetisi Tari
Indonesia ke-6 ? maksudmu apa ?” Tanyaku pada Ameldengan wajah serius.
“Kamu nggak
ingin kita ikut kompetisi ini? Nanti kita ajak Rachma sekalian.Gimana?”
“Emang kompetisi
ini bagusnya apa?”
“Ya elah ki,
masa kamu nggak tahu sih. Ini itu ajang tari paling bergengsi di Indonesia
tahu!”
“Ooh.. gitu,
kalau gitu oke deh kita ikut ajang itu.”
“Yeeeeee….akhirnya.”
jerit Amel sorak-sorai
“Pulang sekolah
nanti kita kasih tau Rahma sama mikirin bagaimana selanjutnya.”
“Oke beres Mel.” Jawabku.
*****
Jam
2 tepat bel pulang berdering nyaring memekakkan telinga. Berhamburlah
murid-murid dari segala penjuru kelas. Aku
dan Amel menunggu Rahma di depan kelasnya, karena memang aku dan Rahma berbeda
kelas. Aku dan Amel kelas XII-A2 dan Rahma kelas XII-A3.
Beberapa menit kemudian, Rahma muncul dengan menenteng
tasnya yang kelihatan super berat.
“Hai,
Rahma !” SaPaku pada Rahma.
“Eh..
iya Ki, ada apa, tumben kamu ke kelasku sama Ameljuga ? Kangen ya ? ” Jawab
Rahma sambil mengernyitkan dahi.
“Ge
– eR banget kamu. Langsung aja ya aku cerita. Di mading sekolah ada poster tentang lomba tari se – Indonesia. Gimana
kalo kita join lomba, seperti biasa
kita selalu ikut lomba-lomba tari lainnya kan ? dan lomba ini tuh se-Indonesia
tau, ajang yang paling bergengsi yang belum kita ikuti.” Jelas Kiki.
“Emmmm...
gimana ya, aku sih setuju-setuju aja yang penting sama kalian, tapi kita kasih
tau berita ini ke Pak Maja dulu.” Jawab Rahma.
Kami bertiga langsung menuju sanggar tari tempat kami
berlatih.
*****
Di sanggar tari sudah ada Pak Maja yang selalu stand by di sana setiap waktu. Kami
langsung menghampiri beliau yang sedang duduk di teras sanggar.
“Assalamu’alaikum
Pak Maja” sapa kami bertiga hampir serentak.
“Wa’alaikumsalam,
tumben kok kalian kesini masih Pakek seragam sekolah, memangnya ada apa ?” jawab
Pak Maja.
“Gini
Pak, kedatangan kami kesini mau ngasih tau BaPak kalau kami mau ikut lomba tari
se-Indonesia. Menurut Bapak bagaimana ?” tanya Amel.
“Ooohhh..
jadi begitu. Sebenarnya Bapak ingin menawari kalian buat ikut itu, tapi
ternyata kalian sudah tau. Rencananya kalian ingin saya kirim ke Surabaya untuk
berlatih tari di sana, karena di sana Bapak sudah menyuruh seseorang untuk
melatih kalian tari Remo. Bagaimana kalian setuju tidak ?” tanya Pak Maja.
“Setuju”
jawab kami serempak.
“Tapi
bagaimana dengan sekolah kami Pak, kami tidak dapat meninggalkan sekolah kami
untuk pergi ke Surabaya lagipula itu kan jauh.” Tambah Rahma
“Kalian
tidak usah khawatir. Lomba ini kan masih lama sekitar 2 bulan lagi, sedangkan
akhir bulan ini kalian sudah libur semester. Jadi, kalain ke Surabaya waktu
liburan.” Jawab Pak Maja menyakinkan kami.
“Benar
juga ya Pak.” Sahut Rahma.
“Untuk
keberangkatan kalian ke Surabaya, sudah Bapak atur dan Bapak tanggung biayanya.
Jadi kalian tinggal berangkat saja. Tapi maaf Bapak tidak bisa mendampingi
kalian, karena Bapak harus mengurus sanggar ini.” Jelas Pak Maja.
“Terima
kasih banya Pak Maja, kami tidak apa-apa berangkat sendiri. Kami kan sudah
besar kelas 12 SMA lagi.” Sahut Amel.
*****
Tanggal 29 Juni 2013 aku, Amel, dan Rahma sampai di
Surabaya dengan selamat sentausa setelah melakukan perjalanan menaiki kereta
selama 2 jam lamanya. Di stasiun kereta kami dijemput oleh seorang wanita
tinggi, berkulit putih, dan kelihatnnya sangat baik. Wanita itu adalah
seseorang yang diceritakan oleh Pak Maja sebelum kami berangkat. Kami langsung
saja menghampiri wanita tersebut setengah lari.
“Bu
Lia ?” tanyaku dengan penasaran.
“Iya
benar saya Bu Lia yang disuruh Pak Maja untuk menjemput kalian bertiga. Kamu
pasti kiki kan ?” tanya Bu Lia.
“Kok
Ibu tau sih, padahal kan belum kenalan.” Jawabku
“Itu
kalung kamu tulisannya KIKI.” Jawab Bu Lia.
“Ooo..iya..
Ibu bisa saja.” Jawabku sedikit malu.
“Perkenalkan
saya Amel Bu.” Sahut Amel dengan antusias.
“Kalau
saya Rahma.” Tambah Rahma.
“Saya
Luchiatul Amaliayah Zakiyah, yang akan melatih kalian bertiga tari remo di
sini.” Jelas Bu Lia kepada kami.
“Kapan
kita akan latihan bu, aku sudah tidak sabar lagi.” Sahut Amel.
“Besok
saja Amel. Sekarang kalian harus istirahat dulu, kalian bisa tinggal di ruangan
sebelah sanggar ibu. Ruangan itu sudah ibu siapkan untuk kalian istirahat
selama di Surabaya. Sekarang kita langsung menuju kesana.” Jelas Bu Lia sambil mengajak kami menuju
mobil yang sudah menunggu kami di depan stasiun.
*****
Keesokan harinya kami memulai perjuangan latihan menuju
kemenangan. Tak kusangka wajahnya yang lembut sangat serius ketika melatih
kami. Kami dididik secara tegas dan disiplin. Pagi, siang, sore kami terus digembleng dengan intensif.
Kami tidak memperdulikan rasa lelah yang terus
menggelayuti kami. Biarpun panas, hujan dan ibarat badai sekalipun kami
terjang. Bu Lia juga dengan sabar melatih kami. Seringkali kami malas – malasan
tetapi Bu Lia selalu berhasil menyulut kembali semangat kami yang hampir padam.
Tak terasa sudah seminggu di sanggar tari ini. Namun,
sayangnya rasa jenuh mulai menghampiri kami. Latihan yang keras membuat kami
bosan. Hingga pada suatu malam di ruangan kami.
“Kamu
tahu nggak aku tu dah capek dengan semua ini !” Bentak Amel padaku.
“Iya
aku tahu Mel, aku tu juga capek. Tapi kita harus tetap semangat. Ini baru awal
perjuangan kita untuk meraih kemenangan mel. Sadari itu ! ” Jelasku pada Amel.
“
Kamu tu nggak ngerti. Menurutku tari Remo in tarian yang kuno, nggak modis dan
banyak aturan yang mengikat. Nggak cocok denganku yang menyukai kebebasan dan penuh fantasi ini. Awalnya aku
semangat tapi lambat laun aku ternyata nggak cocok banget dengan tarian ini.
Ini terlalu mengekangku.” Jelas Amel panjang
lebar.
Penjelasan Amel ini sontak membuat aku dan Rahma
terkejut. Tak kusangka Amelyang kukira semangat – semangat saja ternyata
memendam rasa muak yang amat sangat.
“
Udahlah mel, kita jalani saja. Itung – itung buat pengalaman kita. Kita udah
jauh – jauh datang dari Malang ke sini. Apa itu nggak sia – sia kalau kamu
berhenti di tengah jalan ? “ Ungkap Rahma mencoba untuk menasehati Amel.
“
Kalian nggak bakal ngerti perasaanku. Aku sudah lelah. Aku nggak yakin dengan
semua ini. Menurutku tari Remo nggak bakal buat kita jadi juara. Aku ingin
lepas dari semua ini. Aku ingin pulang saja. Terserah kalian mau ikut atau
tidak denganku.” Ungkap Amel.
Kemudian Amel membanting pintu dan meninggalkanku dan
Rahma yang masih kaget dengan penjelasan Amel.
“
Mel, tunggu kamu mau ke mana ? Kita belum selesai ngomong.” Teriakku pada Amel.
“
Udahlah Ki, biarin Amel sendiri dulu. Mungkin dia masih butuh waktu untuk
berpikir.” Jelas Rahma padaku.
“
Tapi Ma... “ Jawabku.
“
Udahlah biarin aja dulu.” Potong Rahma yang memang lebih bisa bersikap dewasa
diantara kami bertiga.
*****
Keesokan paginya aku mendapati barang-barang Amel sudah
raib dari tempatnya. Tak ada satupun yang tersisa. Aku mencoba menghubunginya
lewat telepon, namun hasinya nihil. Nomornya sama sekali tidak bisa dihubungi.
Aku bingung sebenarnya ke mana perginya Amel. Dia juga tidak memberitahu aku
dan Rahma sebelumnya. Ketika Rahma akan menuju pintu ruangan kami, ternyata ada
sepucuk surat tergantung digagang pintu. Surat tersebut dari Amel yang berisi
bahwa Dia kembali ke Malang. Kami benar-benar kaget bukan kepalang. Amel tega
meninggalkan kami disini hanya berdua saja, padahal kita selalu bertiga entah
apa dan bagaimana alasannya. Aku dan Rahma mencoba tegar dan berpikir bagaimana
langkah selanjutnya. Aku teringat akan Bu Lia, aku harus memberitahu beliau
tentang masalah ini. Semoga Beliau mempunyai solusi yang bagus. Aku dan Rahma
bergegas menemui Bu Lia.
Ternyata Bu Lia sudah tahu perihal kepulangan Amel. Amelmenemui
Bu Lia dan berpamitan. Bu Lia membesarkan hati kami supaya tetap maju meskipun
tanpa Amel. Solusi Bu Lia kami tetap berlatih untuk lomba minggu depan, apapun
hasilnya kami harus buktikan kepada Amelkalau kita mampu tetap bertahan. Kami
esok hari harus berlatih lagi, waktu sudah semakin dekat. Kejadian ini harus
menjadi tolak ukur bagi aku dan Rahma.
Hari demi hari aku dan Rahma tetap intensif untuk
berlatih tari. Kini bu lia semakin menggembleng kami. Jadwal latihan pun
semakin padat. Biasanya setiap pertemuan hanya satu setengah jam, sekarang
menjadi dua jam pertemuan. Aku dan Rahma sangat yakin dengan kemenangan kami
nantinya. Ini berkat bu lia juga yang selalu memberikan motivasi-motivasi.
*****
Empat hari sebelum lomba digelar. Aku mendapat kabar dari Pak Maja, bahwa di Malang Amel membentuk grup tari baru
dengan teman-temannya. Grup tari tersebut mengusung tema modern dengan
gerakan-gerakan tari yang lincah dan atraktif bak penari luar negeri. Dia juga
mendaftar ajang lomba yang aku ikuti bersama Rahma. Aku benar-benar terkejut, ternyata ini yang dinginkan Amel.
Aku hanya menghela napas panjang dan menggelengkan kepala. Aku tidak bisa
memberitahu kabar ini kepada Rahma, karena aku takut penyakit rahma akan
kambuh. Benar saja karena rahma jika mendapat berita buruk yang mengagetkan dia
akan lemas dan pingsan. Aku tak mau itu terjadi sehingga aku hanya diam
menyimpan berita buruk ini.
*****
Hari yang kami tunggu-tunggu datang. Nomor lima belas
adalah nomor urut aku dan Rahma tampil di panggung. Di barisan peserta aku
melihat Amel dan grup barunya. Aku takut Rahma akan tahu hal ini. Kemudian aku
mengajak Rahma untuk menjauh dari keramaian dengan alasan supaya kami tidak
grogi dan menjadi minder dengan penampilan peserta lain.
Riuh rentak penonton mulai bergemuruh. Satu persatu
peserta menampilkan bakat mereka. Hingga pada saat Amel dan grupnya tampil
dengan nomor urut 5 sorak sorai penonton semakin menjadi – jadi. Suasana ini
membuat Rahma penasaran dan dia langsung menuju dekat panggung. Aku mencoba
untuk meraih tangannnya. Tapi aku tak bisa untuk mencegahnya.
Rahma terbelalak melihat penampilan Amel. Dia terkejut
bukan kepalang. Amel yang dianggapnya setia pada kami ternyata berbalik arah
menusuk kami berdua.
Bruk....
Tubuh
Rahma terhempas ke tanah. Aku sudah menyangka ini akan terjadi.
”
Rahma bangun, bangun, bangun Rahma ! “ Ucapku sambil mencoba menyadarkannya.
Aku guncang – guncangkan tubuh Rahma. Tetap saja ia tidak sadarkan diri.
Aku memanggil Bu Lia. Aku dan Bu Lia sepakat untuk
membawanya ke posko kesehatan yang disediakan oleh panitia.
“
Bu Lia, gimana ini bu ? Kondisinya tidak mungkin untuk bisa tampil. Apalagi
sekarang sudah nomor urut 11. Sebentar
lagi kami akan tampil Bu ? “ Tanyaku kepadaku Bu Lia dengan terisak – isak.
“
Begini saja. Kamu maju tampil sendiri tak apa, kan ? Saya mengerti bakat kamu.
Saya yakin kamu pasti bisa Ki ? “
“
Tapi Bu ? Saya tidak yakin saya bisa tanpa Rahma.” Jawabku ragu.
“
Saya yakin kamu pasti bisa Ki,bakatmu diatas rata – rata anak seusiamu.
Percayalah pada Ibu. Biarlah Rahma di sini. Ibu akan menjaganya.”
“
Kalau itu memang yang terbaik akan saya coba lakukan.”
*****
Aku mantapkan langkah kakiku menuju
ke panggung. Kepercayaan yang ku dapat dari Bu Lia semakin membuatku teguh dan
tak gentar menghadapi apa yang ku alami saat ini.
“
Sekarang kita sambut penampilan dari grup Cakra Muda Malang dengan tarian Tari
Remo.” Terdengar suara MC menyebut nama
grupku.
Aku melangkah naik ke panggung. Aku
jalani seperti latihan – latihan sebelumnya. Tak ku sangak di tengah tarianku
aku mendengar langkah kaki naik ke panggung. Aku menoleh. Betapa terkejutnya
aku melihat Rahma sudah mengambil ancang- ancang untuk menari bersamaku.
“
Rahma, kenapa kamu disini ? Sebaiknya kamu kembali istirahat.” Tanyaku pada
Rahma dengan heran di sela – sela tarian kami.
“
Aku nggak apa – apa kok Ki. Sekarang ayo kita lanjutkan pertarungan kita.”
Jawab Rahma menyakinkanku.
Gerakan demi gerakan kami berhasil lalui dengan baik.
Pada saat turun dari panggung aku melihat wajat Rahma pucat pasi. Aku segera
membawanya ke posko kesehatan kembali.
*****
Saat yang mendebarkan tiba. Ya.. waktunya pegumuman
juara. Jantungku berdebar tak karuan. Aku dan Rahma berpegangan erat di posko
kesehatan.
Alhamdulillah ternyata nomor kami disebut sebagai juara
pertama. Syukur yang amat sangat kami panjatkan. Perjuangan kami ternyata
membuahkan hasil yang gemilang. Kesabaran kami sudah terbayar lunas. Aku dan
Rahma berpelukan penuh haru bercampur bahagia. Begitu juga dengan Bu Lia.
Terlihat wajahnya memancarkan rona kebahagiaan.
Di tengah suasana haru kami, kulihat Amel melangkah mendekati
kami.
“Maafkan
aku teman-teman apa yang aku perbuatan memang salah, aku tidak mendengar apa
nasihat kalian. Aku sadar aku harus berusaha apapun yng terjadi. Seharusnya aku
tetap bersama kalian. Sekali lagi maafkan aku.” Amel menangis tersedu-sedu.
“Memang
penyesalan selalu dibelakang bukan didepan. Aku tau kamu sebenarnya tidak
bermaksud seperti ini. Apapun yang terjadi kamu tetap temanku seperti dulu.
Semoga kejadian ini bisa merubah sikapmu lebih dewasa. Aku sudah memaafkanmu
dari dulu Mel... ” ujarku lembut kepada Amel.
“Aku
juga memaafkanmu mel...” sahut Rahma.
Aku,
Rahma dan Amel saling berpelukan. Kami mengambil hikmah terhadap apa yang telah
terjadi.
*****
“Hayo....
nglamun terus ki.” Sentak Rahma dan Amel mengagetkan lamunanku.
Aku langsung tersentak dan bangkit dari tempat dudukku.
Kemudian kami langsung berangkat bersama menuju pagelaran budaya
dari Indonesia di Balai Kota.
Langganan:
Postingan (Atom)